Berdasarkan data yang dikumpulkan penulis di Museum KA Ambarawa dan Depo Lok Ambarawa, bahwa jumlah tenaga yang mampu menjalankan lokomotif uap semakin berkurang. Sementara informasi yang diperoleh bahwa nantinya bila lok uap tersebut jadi dibawa ke Sumbar dan Solo, akan melibatkan tenaga dari Museum KA Ambarawa, baik itu tenaga masinis maupun teknisi. Lantas siapakah yang akan mengoperasikan dan merawat lok uap di Ambarawa yang tersisa dan masih aktif? Siapakah yang akan melayani para pengguna KA Wisata yang telah mengeluarkan biaya tidak sedikit untuk paket perjalanan itu? Berkurangnya jumlah tenaga operasional KA Wisata khususnya lok uap justru akan membawa bencana bagi Museum KA Ambarawa. Akibatnya KA Wisata lintas Ambarawa-Bedono tidak beroperasi. Pengunjung kecewa dan pemasukan Museum KA Ambarawa hanya mengandalkan lori wisata Ambarawa – Tuntang serta tariff masuk museum, akan merosot drastis. Sementara itu Daop IV PT Kereta Api (Persero) sendiri telah melakukan kesalahan besar dengan lambatnya regenerasi masinis dan teknisi di lingkungan Depo Lok Ambarawa. Menurut Pujiono, para masinis lok uap yang telah menjalani masa pensiun, masih sanggup diminta bantuannya menjalankan lok uap. Namun apakah selamanya akan menggantungkan dari mereka. Bukan bermaksud mengecilkan kemampuan lantaran telah pensiun, namun mereka yang senior hendaknya segera membagikan ilmu nya kepada yunior dan selanjutnya terjadi estafet dalam hal perawatan dan operasional lok uap. Apalagi dengan rencana penarikan dua lok uap keluar dari wilayah Museum-Depo lok uap KA Ambarawa yang melibatkan tenaga dari tempat tersebut. Bila perlu Daop IV PT Kereta Api (Persero) langsung menempatkan 5 – 10 tenaga masinis dan teknisi dari Depo Lok Semarang Poncol untuk dididik merawat dan mengoperasionalkan lok uap di Ambarawa. Karena selama ini para masinis lok uap yang bertugas di Ambarawa adalah mantan masinis Depo Lok Semarang Poncol. Langkah lainnya yang perlu diterapkan Daop IV PT Kereta Api (Persero) sebagai operator KA di wilayah Jateng bagian utara dan sebagian selatan, mengajak Pemerintah Provinsi Jateng sebagai regulator bekerjasama meningkatkan dan memperbaiki jalur Ambarawa – Tuntang agar dapat dilalui KA Wisata dan KA barang yang ditarik lok uap C1218 dan E1060. Bila peningkatan dan perbaikan jalur itu selesai secepatnya, dan operasional KA mulai berjalan, maka kedua lok uap tadi tidak akan dibawa ke Sumbar dan Solo. Karena alasan telah digunakan untuk operasional di jalur itu. Kemudian untuk lintas Solo – Wonogiri dan Sumbar, sebaiknya tidak perlu mempertahankan keinginannya menggunakan lok uap untuk menarik rangkaian KA Wisata. Misalnya untuk lintas Solo – Wonogiri sebaiknya menggunakan lok D301/D300 dengan cat warna krem – hijau yang jauh tampil tak kalah klasik dengan lok uap, karena roda penggerak mirip dengan roda penggerak lok uap. Kemudian di Sumbar sebaiknya menggunakan lok diesel BB204 yang sama-sama menggunakan gerigi dan hingga saat ini banyak yang dibiarkan tidur di dalam depo walau sebenarnya tidak dalam kondisi rusak. Bukankah mengangkut lok uap dengan menggunakan kapal laut justru akan mengeluarkan biaya besar? Intinya KA Wisata, tidak harus ditarik dengan lok uap. Kalau nantinya di Indonesia seluruh unit lok uap sudah tidak mampu dioperasionalkan karena faktor langkanya suku cadang atau bahan baku kayu , apa boleh buat. Lebih baik di museumkan atau di monumenkan sebagai bagian saksi sejarah per KA an di Indonesia. Oleh sebab itu, biarlah Ambarawa menjadi basis lok uap satu-satunya di Indonesia milik PT Kereta Api (Persero). Biarlah lok-lok uap tetap menjadi penghuni depo/ museum. (Tamat) Jayalah KA Indonesia...semboyan 40/41
Sabtu, 28 Maret 2009
Nun jauh disana, tepatnya 165 kilometer arah barat kota Semarang, yakni stasiun kereta api Tegal, Naslam (50) sudah bersiap-siap duduk dalam kabin lokomotif CC20146. Hari minggu (27/2/05) yang lalu, Naslam bersama tiga rekannya akan mengantarkan 16 gerbong KA Pertamina dari Tegal menuju Maos, Cilacap.
Selaku masinis, Naslam telah terbiasa mengemudikan rangkaian kereta ketel westinghouse (KKW) tersebut. Sementara Naslam menyalakan mesin CC20146, Sugiarto (52) dan Tjawan (52), dengan teliti memeriksa bogie rengkaian KKW, tak terkecuali rantai pengait antar gerbong. Keduanya memsatikan jangan sampai ada baut yang longgar, kelonggaran sebuah baut bisa berakibat fatal pada perjalanan sepanjang 135 kilometer tersebut.
Siang itu, kekhawatiran dan kecemasan akan kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) per 1 Maret 2005 sama sekali tak terlihat di wajah Naslam. Entah karena sebagai seorang masinis yang gajinya tidak sebesar pilot pesawat terbang, Naslam tampak santai mengemudikan CC20146. Dalam obrolannya hari itu, ia tidak menyinggung sedikitpun isu kenaikan harga BBMyang memusingkan kepala banyak orang.
Tepat pukul 11.00, rangkaian KW Pertamina itu perlahan-lahan meninggalkan jalur tiga stasiun Tegal. Semboyan 40 dan 41, tanda KA aman untuk diberangkatkan disambut Naslam dengan semboyan 35 yang khas, bunyi klakson lokomotif. Seiring peluit petugas perjalanan kereta api (PPKA) Tegal berbunyi, Naslam dengan sigap menarik tuas throtle CC20146 dan ular besi itu pun melaju dengan kecepatan sekitar 60 kilometer per jam.
“Selama 24 tahun, saya bertugas di Cilacap menjalankan lokomotif D301. Saya memulai karir sebagai pegawai KA pada 1973. Tahun 1975, saya mulai mengemudikan lokomotif uap hitam semacam C28, D52, CC50 dan D51. Sekarang saja, karena tidak ada lokomotif uap yang beroperasi lagi, saya mengemudiklan lokomotif diesel”, tutur Naslam panjang lebar sembari matanya tetap memandang lurus ke depan.
Sepanjang perjalanan itu, Naslam tak sedikit pun melepaskan pandangan ke arah jendela depan lokomotif. Setiap mendekati darerah perlintasan, Naslam dan asisten masinisnya yang duduk di sisi kiri kabin bergantian membunyikan klakson lokomotif. Laju rangkaian KA itu pun sedikit diperlambat bila mendekati perlintasan maupun kelokan-kelokan lintasan yang berdekatan dengan pemukiman penduduk.
Pandangan Naslam siang itu memang hanya sebatas sisi kanan rel, ia tidak bisa leluasa memandangi semua sudut lintasan rel karena moncong CC20146 sepanjang lebih kurang 10 meter itu membatasi jarak pandangnya. Untungnya, cuaca cerah sepanjang lintasan Tegal-Prupuk memudahkan Naslam mengemudikan KKW tersebut.
Memasuki daerah Linggapura, curahan air hujan mulai membasahi tubuh KKW. Mau tak mau, Naslam harus lebih waspada mengemudikan lokomotif diesel buatan General Electric itu, wiper lokomotif yang tak berfungsi dengan baik membuat Naslam dan asistennya harus benar-benar cermat memperhatikan lintasan rel yang dilalui.
“Menjadi masinis banyak suka maupun dukanya. Kalau menjadi masinis KA barang, kami harus banyak mengalah terhadap KA penumpang yang melintas. Jelasnya juga tidak ada jatah makan selama perjalanan. Tatapi, tangung jawabnya sama saja memastikan penumpang maupun barang tiba tepat waktu dan selamat di tujuan”, tuturnya.
Tiba di stasiun Karangsari, KKW Pertaminha yang dikemudikan Naslam berhenti sesaat. Tampak dibelakang lokomotif, Sugiarto dan Tjawan berjalan dari arah belakang rangkaian hingga ke dekat lokomotif untuk mengecek kondisi pengait antar gerbong. Selaku kondektur pemimpin (KP) selama perjalanan itu, Sugiarto bertanggung jawab terhadap kesiapan teknis rangkaian KA dari stasiun keberangkatan hingga di tempat tujuan.
“Paling susah kalau mesin lokomotif rusak ditengah jalan, apalagi bial radio panggil di kabin lokomotif juga tidak berfungsi. Kami mesti berjalan kaki ke stasiun terdekat untuk melaporkan kerusakan dan meminta pertolongan”, tutur Sugiarto.
Pengalaman berjalan kaki itu pernah dirasakan Sugiarto ketika lokomotif KKW itu gadat di dekat jembatan Bumiayu, ia terpaksa berjalan kaki menyusuri lintasan rel sekitar lima kilometer mencapai stasiun terdekat. Jarak itu mau tidak mau ditempuhnya, mengingat lokasi lokomotif mogok itu kebetulan jauh dari jalan raya.
Baik Sugiarto maupun Tjawan selama perjalanan siang itu harus senantiasa berada di gerbong KKW. Jangan bayangkan gerbong KKW itu layaknya gerbong penumpang. Tanpa atap peneduh dan dinding, keduanya berdiri maupun duduk di lantai gerbong sembari terik matahari dan curahan hujan menghujam tubuh mereka.
Tjawan selaku petugas rem dalam rombongan itu dituntut tidak boleh lengah sedikit pun. Meski hujan deras, telinganya harus was-was padamendengarkan pertanda dari masinis lewat lengkingan klakson lokomotif. Salah mengartikan pertanda yang didengar, bisa berakibat kecelakaan fatal pada keseluruhan rangkaian ular besi itu.
Bagi Naslam, Sugiarto, dan Tjawan, perjalanan mereka terasa biasa dan tidak ada istimewanya. Padahal, komoditas yang mereka angkut tiap harinya itu adalah napas hidup semua orang, baik orang kaya maupun orang miskin. Sayangnya, peran dan jasa mereka bertiga kerap menguap begitu saja dari benak kita, menguap bersama kecemasan harga BBM yang kian membumbung.
Selaku masinis, Naslam telah terbiasa mengemudikan rangkaian kereta ketel westinghouse (KKW) tersebut. Sementara Naslam menyalakan mesin CC20146, Sugiarto (52) dan Tjawan (52), dengan teliti memeriksa bogie rengkaian KKW, tak terkecuali rantai pengait antar gerbong. Keduanya memsatikan jangan sampai ada baut yang longgar, kelonggaran sebuah baut bisa berakibat fatal pada perjalanan sepanjang 135 kilometer tersebut.
Siang itu, kekhawatiran dan kecemasan akan kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) per 1 Maret 2005 sama sekali tak terlihat di wajah Naslam. Entah karena sebagai seorang masinis yang gajinya tidak sebesar pilot pesawat terbang, Naslam tampak santai mengemudikan CC20146. Dalam obrolannya hari itu, ia tidak menyinggung sedikitpun isu kenaikan harga BBMyang memusingkan kepala banyak orang.
Tepat pukul 11.00, rangkaian KW Pertamina itu perlahan-lahan meninggalkan jalur tiga stasiun Tegal. Semboyan 40 dan 41, tanda KA aman untuk diberangkatkan disambut Naslam dengan semboyan 35 yang khas, bunyi klakson lokomotif. Seiring peluit petugas perjalanan kereta api (PPKA) Tegal berbunyi, Naslam dengan sigap menarik tuas throtle CC20146 dan ular besi itu pun melaju dengan kecepatan sekitar 60 kilometer per jam.
“Selama 24 tahun, saya bertugas di Cilacap menjalankan lokomotif D301. Saya memulai karir sebagai pegawai KA pada 1973. Tahun 1975, saya mulai mengemudikan lokomotif uap hitam semacam C28, D52, CC50 dan D51. Sekarang saja, karena tidak ada lokomotif uap yang beroperasi lagi, saya mengemudiklan lokomotif diesel”, tutur Naslam panjang lebar sembari matanya tetap memandang lurus ke depan.
Sepanjang perjalanan itu, Naslam tak sedikit pun melepaskan pandangan ke arah jendela depan lokomotif. Setiap mendekati darerah perlintasan, Naslam dan asisten masinisnya yang duduk di sisi kiri kabin bergantian membunyikan klakson lokomotif. Laju rangkaian KA itu pun sedikit diperlambat bila mendekati perlintasan maupun kelokan-kelokan lintasan yang berdekatan dengan pemukiman penduduk.
Pandangan Naslam siang itu memang hanya sebatas sisi kanan rel, ia tidak bisa leluasa memandangi semua sudut lintasan rel karena moncong CC20146 sepanjang lebih kurang 10 meter itu membatasi jarak pandangnya. Untungnya, cuaca cerah sepanjang lintasan Tegal-Prupuk memudahkan Naslam mengemudikan KKW tersebut.
Memasuki daerah Linggapura, curahan air hujan mulai membasahi tubuh KKW. Mau tak mau, Naslam harus lebih waspada mengemudikan lokomotif diesel buatan General Electric itu, wiper lokomotif yang tak berfungsi dengan baik membuat Naslam dan asistennya harus benar-benar cermat memperhatikan lintasan rel yang dilalui.
“Menjadi masinis banyak suka maupun dukanya. Kalau menjadi masinis KA barang, kami harus banyak mengalah terhadap KA penumpang yang melintas. Jelasnya juga tidak ada jatah makan selama perjalanan. Tatapi, tangung jawabnya sama saja memastikan penumpang maupun barang tiba tepat waktu dan selamat di tujuan”, tuturnya.
Tiba di stasiun Karangsari, KKW Pertaminha yang dikemudikan Naslam berhenti sesaat. Tampak dibelakang lokomotif, Sugiarto dan Tjawan berjalan dari arah belakang rangkaian hingga ke dekat lokomotif untuk mengecek kondisi pengait antar gerbong. Selaku kondektur pemimpin (KP) selama perjalanan itu, Sugiarto bertanggung jawab terhadap kesiapan teknis rangkaian KA dari stasiun keberangkatan hingga di tempat tujuan.
“Paling susah kalau mesin lokomotif rusak ditengah jalan, apalagi bial radio panggil di kabin lokomotif juga tidak berfungsi. Kami mesti berjalan kaki ke stasiun terdekat untuk melaporkan kerusakan dan meminta pertolongan”, tutur Sugiarto.
Pengalaman berjalan kaki itu pernah dirasakan Sugiarto ketika lokomotif KKW itu gadat di dekat jembatan Bumiayu, ia terpaksa berjalan kaki menyusuri lintasan rel sekitar lima kilometer mencapai stasiun terdekat. Jarak itu mau tidak mau ditempuhnya, mengingat lokasi lokomotif mogok itu kebetulan jauh dari jalan raya.
Baik Sugiarto maupun Tjawan selama perjalanan siang itu harus senantiasa berada di gerbong KKW. Jangan bayangkan gerbong KKW itu layaknya gerbong penumpang. Tanpa atap peneduh dan dinding, keduanya berdiri maupun duduk di lantai gerbong sembari terik matahari dan curahan hujan menghujam tubuh mereka.
Tjawan selaku petugas rem dalam rombongan itu dituntut tidak boleh lengah sedikit pun. Meski hujan deras, telinganya harus was-was padamendengarkan pertanda dari masinis lewat lengkingan klakson lokomotif. Salah mengartikan pertanda yang didengar, bisa berakibat kecelakaan fatal pada keseluruhan rangkaian ular besi itu.
Bagi Naslam, Sugiarto, dan Tjawan, perjalanan mereka terasa biasa dan tidak ada istimewanya. Padahal, komoditas yang mereka angkut tiap harinya itu adalah napas hidup semua orang, baik orang kaya maupun orang miskin. Sayangnya, peran dan jasa mereka bertiga kerap menguap begitu saja dari benak kita, menguap bersama kecemasan harga BBM yang kian membumbung.
Jumat, 27 Maret 2009
CC 20008 & CC 20009
Berita Duka
Hari Selasa 14 Agustus 2007 jam 13:19 sy menelepon ke Bp. Haryanto KDT Dipo CN utk menanyakan kbr lok CC200. Sy terkaget sewkt mendpt kbr sbb :
1.) CC20015 sejak 24 April 2007 oleh WASI DAOP 3 CN dinyatakan TIDAK LAIK JALAN dg alasan : biaya sdh tdk ada utk perawatan, rem pd lok tsb rusak berat, & kondisinya memprihatinkan sehingga lok tsb layak RUCAT.......WUIH !
Tetapi menurut Pak Haryanto CC20015 akan dipertahankan walaupun cuma dihidupkan mesinnya 3 hari sekali seperti yg dilakukan saat ini & bukan utk dijalankan. Selain itu CC200 sdh menjadi maskot DAOP 3 CN.
2.) CC20008 & CC20009 di minggu dpn akan dikrm ke tempat peristirahatannya yg terakhir di BY Pengok krn alasan utk menyelamatkan motor dieselnya, sedangkan body serta perlengkapannya terserah BY Pengok mau diapakan. Sy sdh minta ijin secara lisan ke KDT Dipo CN jika CC20008 & CC20009 akan ditarik ke BY Pengok mhn Kawans IRPS yg akan ikut mengawal bisa diijinkan. Kata Pak Haryanto silahkan saja tetapi jgn terlalu penuh di kabin lok CC201 yg akan menariknya & hrs ada yg bertanggung jawab dr IRPS.
Pak Haryanto akan mengabari ke sy kpn wkt pastinya CC20008 & CC20009 ditarik ke BY Pengok, & sy sdh bilang bhw biar sy yg proaktif utk menelepon ke KDT Dipo CN.
Smg CC200 setibanya di BY Pengok tdk langsung hilang di-RUCAT. Krn sy pernah survey th 2004 (ketika sy bertgs di Pertamina Crb) ternyata unsur logam pd CC200 merupakan logam yg sangat mahal & merupakan besi baja pejal alias logam tsb pd era 1940an hingga 1950an merupakan baja andalan dunia yg byk dipake utk kapal perang sejenis Battle Ship. Pantes aja CC200 hingga skrg bangkainya di BY Pengok sdh tdk ada bekasnya, dibanding lok lainnya spt BB200, BB301, BB304, BB300, BB305, D300, D301 yg msh tersisa. Krn begitu dtg di Pengok sdh diincar besinya yg memang berat & mahal.
Dan CC200 dgn berat 96 ton merupakan lok diesel terberat di pulau Jawa hingga saat ini, oleh karena itu CC200 memiliki boogie tengah utk menyangga spy tdk anjlok dilintasan tahun 1950an - 1980an.
Demikian berita duka terima kasih.
Hari Selasa 14 Agustus 2007 jam 13:19 sy menelepon ke Bp. Haryanto KDT Dipo CN utk menanyakan kbr lok CC200. Sy terkaget sewkt mendpt kbr sbb :
1.) CC20015 sejak 24 April 2007 oleh WASI DAOP 3 CN dinyatakan TIDAK LAIK JALAN dg alasan : biaya sdh tdk ada utk perawatan, rem pd lok tsb rusak berat, & kondisinya memprihatinkan sehingga lok tsb layak RUCAT.......WUIH !
Tetapi menurut Pak Haryanto CC20015 akan dipertahankan walaupun cuma dihidupkan mesinnya 3 hari sekali seperti yg dilakukan saat ini & bukan utk dijalankan. Selain itu CC200 sdh menjadi maskot DAOP 3 CN.
2.) CC20008 & CC20009 di minggu dpn akan dikrm ke tempat peristirahatannya yg terakhir di BY Pengok krn alasan utk menyelamatkan motor dieselnya, sedangkan body serta perlengkapannya terserah BY Pengok mau diapakan. Sy sdh minta ijin secara lisan ke KDT Dipo CN jika CC20008 & CC20009 akan ditarik ke BY Pengok mhn Kawans IRPS yg akan ikut mengawal bisa diijinkan. Kata Pak Haryanto silahkan saja tetapi jgn terlalu penuh di kabin lok CC201 yg akan menariknya & hrs ada yg bertanggung jawab dr IRPS.
Pak Haryanto akan mengabari ke sy kpn wkt pastinya CC20008 & CC20009 ditarik ke BY Pengok, & sy sdh bilang bhw biar sy yg proaktif utk menelepon ke KDT Dipo CN.
Smg CC200 setibanya di BY Pengok tdk langsung hilang di-RUCAT. Krn sy pernah survey th 2004 (ketika sy bertgs di Pertamina Crb) ternyata unsur logam pd CC200 merupakan logam yg sangat mahal & merupakan besi baja pejal alias logam tsb pd era 1940an hingga 1950an merupakan baja andalan dunia yg byk dipake utk kapal perang sejenis Battle Ship. Pantes aja CC200 hingga skrg bangkainya di BY Pengok sdh tdk ada bekasnya, dibanding lok lainnya spt BB200, BB301, BB304, BB300, BB305, D300, D301 yg msh tersisa. Krn begitu dtg di Pengok sdh diincar besinya yg memang berat & mahal.
Dan CC200 dgn berat 96 ton merupakan lok diesel terberat di pulau Jawa hingga saat ini, oleh karena itu CC200 memiliki boogie tengah utk menyangga spy tdk anjlok dilintasan tahun 1950an - 1980an.
Demikian berita duka terima kasih.
| ||
Ketika tengah melakukan kegiatan liputan di Hotel Horison Semarang, Sabtu (22/11) siang, tiba-tiba salah seorang rekan wartawan Kompas angkat kaki dari ruang tempat liputan di lantai 2. "Mas, kabarnya Stasiun Tawang banjir...," kata teman wartawan dari Kompas itu seraya ngeloyor. "Ok deh, entar nanti aku kesana...," kataku. Tak lama setelah liputan rampung, aku bergegas menuju Stasiun Poncol. Stasiun Poncol? Ya, soalnya aku memang mau meneliti seberapa parah banjir yang menggenangi Stasiun Tawang dilihat dari jumlah lokomotif diesel elektrick yang tertahan di Stasiun Poncol. Kalau di Stasiun Poncol KA dari arah barat yang ditarik lok diesel elektrick tidak ada yang tertahan, berarti banjir di stasiun Tawang memang tidak terlalu parah atau tidak terlalu bahaya dilalui lokomotif diesel elektrick macam BB200, CC201, atau CC203. Pasalnya bila transmisi elektrick yang terdapat dalam motor traksi dekat roda penggerak itu terkena genangan air banjir akibatnya bisa terjadi arus pendek dan menyebabkan lokomotif itu mogok. Lain halnya dengan lokomotif diesel hidrolik produksi Fried Krupp Jerman macam Lok D301, BB300, BB301, atau BB304, termasuk yang produksi Heinscel Jerman yaitu BB303, karena menggunakan transmisi hidrolik, maka lok jenis itu bebas melenggang di genangan banjir. Itulah sebabnya lok diesel hidrolik yang stabling di Depo Lok Semarang Poncol macam Lok D30117 dari Sub Depo Lok Cepu, Lok D30103 dari Sub Depo Lok Tegal, Lok BB30012 dan BB30024 dari Sub Depo Lok Cepu, atau Lok BB30125 yang jauh-jauh dari kota brem (Depo Lok Madiun), kerap dijuluki "Yuyu Kangkang". Mengingatkan pada kisah Ande-Ande Lumut yang menampilkan binatang air sungai "yuyu Kangkang" mengantarkan puteri yang akan melamar Ande-Ande Lumut menyeberang sungai. Ketika aku sampai di kawasan Depo - Stasiun Poncol, ternyata lokomotif diesel elektrick bebas berlalu lalang Poncol-Tawang. Apakah banjir di Tawang sudah surut? Belum. Ternyata wilayah yang tergenang banjir adalah peron dan tempat penjualan tiket, termasuk kantor PPKA, ruang tunggu eksekutif, ruang masinis...pokoknya rel di seluruh spoor Stasiun Tawang yang telah ditinggikan 35 cm dari ketinggian sebelumnya, sudah aman dari banjir. Sehingga lok diesel elektrik bisa keluar masuk stasiun Tawang tanpa harus digantikan perannya lok diesel hidrolik. Sebelumnya KA yang datang dari arah barat misalnya Argo Bromo Anggrek bila Stasiun Tawang banjir, harus tertahan di Stasiun Poncol dan perannya digantikan lok diesel hidrolik memasuki Stasiun Tawang sampai keluar dari Stasiun Tawang menuju Stasiun Alas Tuwa. Di Alas Tuwa, lok diesel hidrolik yang telah berjasa melangsir KA Argo Bromo Anggrek digantikan perannya oleh lok diesel elektrick yang singgah dan siap menarik Argo Bromo Anggrek dari Alas Tuwa sampai finish di Stasiun Surabaya Pasar Turi. Makanya pihak Daop IV PT KA nggak mau dibikin repot dengan adanya gonta-ganti lok hanya karena masalah banjir di Tawang. Solusinya adalah rel harus ditinggikan lagi setinggi 35 cm dari tinggi sebelumnya. Padahal menurutku itu hanya sementara, dan bukan solusi yang tepat. Pasalnya kondisi permukaan tanah di kota Semarang khususnya di bagian bawah seperti kawasan Tawang merupakan kawasan yang rawan penurunan. Penyebabnya, maraknya penduduk membangun sumur air tanah dan pembangunan gedung bertingkat dengan pondasi tiang pancang, justru akan mengurangi kadar air tanah dan akibatnya pori-pori tanah kosong hingga menyebabkan permukaan tanah turun secara perlahan. Tak heran bila akhirnya bencana banjir rob juga turut menerjang kawasan itu. Penelitianku akhirnya memutuskan semacam solusi yang dirasakan sangat mahal biayanya namun manfaatnya cukup besar, Stasiun Tawang dan Stasiun Poncol termasuk Depo Lok, Depo Kereta, Depo Mekanik posisinya ditinggikan relnya dengan sistem rel layang, persis yang dilakukan di Stasiun Gambir dan Stasiun Jakarta Kota (Beos). Dengan dibangunnya rel layang termasuk spoor yang ada di Poncol dan Tawang, maka akan terbebas dari banjir. Itu pertama, yang kedua rel utama termasuk spoor di stasiun akan bersih dari para pejalan kaki dan pedagang asongan. Bahkan tidak ada lagi orang memasuki stasiun lewat pintu perlintasan KA, jadi orang yang masuk stasiun harus membayar retribusi berupa beli tiket peron. Lantas bagaimana dengan pos-pos perlintasan KA? Justru dengan masih minimnya kesadaran pemakai jalan raya yang kerap menerabas pintu perlintasan saat KA akan lewat, maka pembangunan rel layang justru menjadikan zero accident antara KA dengan pengguna jalan. Para petugasnya kemudian dialihkan menjaga perlintasan liar, guna menghindari tabrakan KA dengan pengguna jalan. Solusi ini pernah aku tulis dalam rubrik Wacana Lokal Harian Suara Merdeka edisi tanggal 15 September 2008. Namun nampaknya pihak Daop IV PT KA masih memikirkan solusi yang aku tulis tadi atau memang belum mendapatkan dana cukup besar guna mewujudkan solusiku tadi. Jayalah KA Indonesia...Semboyan 40/41
Nguber Kereta Api di Kota Tegal
Tegal...konon disebut sebagai kota warteg. Nah, ketika rekan-rekan IRPS Bandung yang terdiri dari Aryo Wibisono, M Rizky, Bagus W, Asep, serta Pura Krisnamurti mengajakku menyusuri jalur-jalur KA peninggalan SCS (Semarang Cirebon Stoomtrammascapaj), tentu membuatku menjadi senang. Perjalanan pertama dengan start dari Stasiun Semarang Poncol (dulu Stasiun Semarang West) yang merupakan stasiun ujung pada zaman SCS di tahun 1914, adalah menumpang KRD Kaligung Bisnis. Sebetulnya usai makan nasi bungkus yang mak nyoss di dekat depo lok Semarang Poncol, kami mau naik KRD New Kaligung Ekonomi yang baru diresmikan Gub Jateng H Mardiyanto (kini mendagri). Tetapi rencana itu molor ketika KA 1001 dan 1003 benar-benar menggoda kami untuk hunting sejenak sekaligus napak tilas jalur segitiga pembalik yang merupakan fungsi pemutar posisi lok dari long hood menjadi short hood. Selama dalam perjalanan naik KRD Kaligung Bisnis yang kursinya lebih empuk, mirip kursi di dalam pesawat, aku duduk di samping Bagus W dan dalam perjalanan yang di ocehin adalah soal Stasiun Pindrikan sebagai stasiun pertama di Semarang milik SCS. Sayang, rangkaian KRD tidak melintasi bekas Stasiun Pindrikan (Frederick Land) yang kini berubah menjadi kantor agen travel, tetapi kami bisa menyaksikan bekas deponya.
Sesampainya di daerah Gringsing - Batang tepatnya melewati Stasiun Plabuan yang berdekatan dengan bibir pantai laut Jawa, para anggota IRPS Bandung ini asyik memotret dari dalam KRD. Sementara aku asyik duduk nyantai, karena lagi males hunting. Tiba-tiba aku tertidur dan tak disangka sudah nyampai di Stasiun Pekalongan. Terus ketiduran lagi lalu tak disangka sudah nyampai di Stasiun Tegal. Kami langsung berebut turun dari KRD dan aku melihat dari arah barat ada rangkaian ketel Pertamina yang ditarik lok D301. Wah...rangkaian ketel, di Semarang sudah nggak dilewati rangkaian kayak gini. Rupanya rangkaian ketel itu kosong dan hendak ditarik dari depo ketel Tegal kemudian ditarik lok CC201 menuju Maos lewat Purwokerto. Tak lama kemudian kami sempat berebut hunting KA Argo Muria dari arah Jakarta yang singgah di Stasiun Tegal. Setelah KA Argo Muria meninggalkan Tegal, kami langsung nyari tempat makan dan sholat. Eh...tetapi sebelumnya kami sempat hunting gedung bekas kantor SCS yang berdekatan dengan stasiun. Gedung tersebut kini digunakan untuk Universitas Pancasila Tegal. Kata Mas Saleh Purwanto...katanya ada penampakan, mirip Lawang Sewu, bener nggak sih...?
Tibalah waktunya makan siang, aku memilih menu Ketoprak yang rasanya manis-manis pedas...mak nyoss. Memang Tegal kotanya warteg. Setelah sholat Dhuhur, kami melanjutkan perjalanan terakhir di kota udang Cirebon, buat nengok lok CC20015 yang legendaris itu.
Jayalah Kereta Api Indonesia...semboyan 40/41
Sesampainya di daerah Gringsing - Batang tepatnya melewati Stasiun Plabuan yang berdekatan dengan bibir pantai laut Jawa, para anggota IRPS Bandung ini asyik memotret dari dalam KRD. Sementara aku asyik duduk nyantai, karena lagi males hunting. Tiba-tiba aku tertidur dan tak disangka sudah nyampai di Stasiun Pekalongan. Terus ketiduran lagi lalu tak disangka sudah nyampai di Stasiun Tegal. Kami langsung berebut turun dari KRD dan aku melihat dari arah barat ada rangkaian ketel Pertamina yang ditarik lok D301. Wah...rangkaian ketel, di Semarang sudah nggak dilewati rangkaian kayak gini. Rupanya rangkaian ketel itu kosong dan hendak ditarik dari depo ketel Tegal kemudian ditarik lok CC201 menuju Maos lewat Purwokerto. Tak lama kemudian kami sempat berebut hunting KA Argo Muria dari arah Jakarta yang singgah di Stasiun Tegal. Setelah KA Argo Muria meninggalkan Tegal, kami langsung nyari tempat makan dan sholat. Eh...tetapi sebelumnya kami sempat hunting gedung bekas kantor SCS yang berdekatan dengan stasiun. Gedung tersebut kini digunakan untuk Universitas Pancasila Tegal. Kata Mas Saleh Purwanto...katanya ada penampakan, mirip Lawang Sewu, bener nggak sih...?
Tibalah waktunya makan siang, aku memilih menu Ketoprak yang rasanya manis-manis pedas...mak nyoss. Memang Tegal kotanya warteg. Setelah sholat Dhuhur, kami melanjutkan perjalanan terakhir di kota udang Cirebon, buat nengok lok CC20015 yang legendaris itu.
Jayalah Kereta Api Indonesia...semboyan 40/41
Dipo Lokomotif tegal adalah salah satu dari sekian dipo lokomotif di pulau jawa, dipo ini tidak
terlalu besar saat ini karena penggunaan dipo ini terbatas hanya untuk perawatan darurat saja,
seperti layaknya dipo lokomotif, dipo loko tegal memiliki turn tabel namun sayangnya kondisi turntable sudah tidak terawat dan cenderung rusak, kemudian beberapa area sekitar dipo sudah di bangun perumaha warga ( koq bisa ya ???),padahal itu masih wilayah PJKA / PT KAI, sehingga tidak heran kalau kita susuri rel yang ada mereka melintas di ruang tamu, kamar mandi ruang tidur dan sebagainya, tidak jauh dari dipo tegal ada sebuah bangunan tua peninggalan perusahaan kereta api belanda, bangunan itu terlihat sangat kokoh dan antik, namun sekali lagi sangat disayangkan karena pihak KAI tidak merawatnya, sehingga banyak sekali kotoran disana sini, sayangnya saya tidak sempat memotret gedung tersebut. dipo tegal ini memiliki aset lokomotif BB200 dan beberapa D301, namun kondisinya sangat memprihatinkan tidak seperti saudara mereka yang berada di dipo semarang dan manggarai.
terlalu besar saat ini karena penggunaan dipo ini terbatas hanya untuk perawatan darurat saja,
seperti layaknya dipo lokomotif, dipo loko tegal memiliki turn tabel namun sayangnya kondisi turntable sudah tidak terawat dan cenderung rusak, kemudian beberapa area sekitar dipo sudah di bangun perumaha warga ( koq bisa ya ???),padahal itu masih wilayah PJKA / PT KAI, sehingga tidak heran kalau kita susuri rel yang ada mereka melintas di ruang tamu, kamar mandi ruang tidur dan sebagainya, tidak jauh dari dipo tegal ada sebuah bangunan tua peninggalan perusahaan kereta api belanda, bangunan itu terlihat sangat kokoh dan antik, namun sekali lagi sangat disayangkan karena pihak KAI tidak merawatnya, sehingga banyak sekali kotoran disana sini, sayangnya saya tidak sempat memotret gedung tersebut. dipo tegal ini memiliki aset lokomotif BB200 dan beberapa D301, namun kondisinya sangat memprihatinkan tidak seperti saudara mereka yang berada di dipo semarang dan manggarai.
Langganan:
Postingan (Atom)